Friday, September 28, 2012

6 Tuntutan Reformasi

1.penegakan supremasi hukum
PERKEMBANGAN PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM
Kini, empat tahun setelah reformasi bergulir ternyata penegakan supremasi hukum masih terkesan jalan di tempat. Sejak pemerintahan Abdurrachman Wachid sampai pemerintahan Megawati hampir tidak ada kemajuan yang berarti. Salah satu tolok ukur yang cukup signifikan untuk melihat sejauh mana penegakan supremasi hukum adalah sejauh mana keberhasilan pemberantasan KKN dilakukan. Harus diakui, di era reformasi ini telah banyak dihasilkan perangkat undang-undang baru. Misalnya, ada Ketetapan MPR No. XI/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari KKN, UU No. 20 Tahun 2001 (merubah UU NO. 31 Tahun 1999) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan berbagai UU lainnya. Selain itu, muncul pula lembaga pengawas baru seperti KPKPN maupun Komisi Ombudsman, namun hasilnya masih jauh dari memuaskan.

Secara umum belum terlihat adanya perubahan yang cukup signifikan ke arah penegakan supremasi hukum.
Pelaku KKN masih banyak yang tidak dapat dijerat hukum sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan. Fungsi prevensi umum (deterence) dan prevensi khusus melalui penerapan kebijakan penal (sanksi pidana) menjadi nihil, bahkan perilaku KKN ditengara makin meningkat. Jika di masa Orde Baru perilaku KKN hanya merupakan bentuk “perselingkuhan” antara Eksekutif dan Judikatif, kini tengah berkembang menjadi bentuk “cinta segi tiga” antara Eksekutif, Judikatif dan Legislatif.
Kondisi itu sangat mungkin karena reformasi hukum yang telah dilakukan selama ini agaknya masih terbatas pada reformasi di bidang substansi hukum yaitu dengan hanya memperbaharui berbagai UU baru. Pada hal pembentukan UU baru tidak serta merta akan menciptakan penegakan hukum yang baik. Undang-undang yang baik belum tentu menjelma dalam bentuk penegakan hukum yang baik tanpa ada penegak/pelaksana hukum yang baik. Menurut Blumberg (1970 : 5) , the rule of law is not executing. It is tralated in to reality by man in institution. Dan pembuatan peraturan perundangan tidak otomatis menciptakan kepastian hukum kecuali hanya kepastian undang-undang !
Harus diingat bahwa bekerjanya sistem hukum (penegakan hukum) tidak dapat lepas dari tiga komponen yaitu komponen substansi, komponen struktur, dan komponen kultur (Friedman, 1968 : 1003-1004). Dua komponen terakhir ini yang tampaknya masih belum banyak direformasi sehingga penegakan supremasi hukum masih mengecewakan.
Komponen struktur yang mendukung bekerjanya sistem hukum seperti Kepolisian, Kejaksaaan, Kehakiman dan Pengacara masih belum banyak berubah dari pola dan budaya yang diwarisi dari orde baru. Masing-masing institusi tersebut belum memiliki visi yang sama untuk menegakkan supremasi hukum, belum tampak komitmen yang kuat diantara mereka untuk menuntaskan semua pelaku KKN dan kejahatan lainnya sesuai aturan hukum yang berlaku, sehingga hukum benar-benar dihormati dan mampu melindungi masyarakat. Para penegak hukum tampaknya masih sibuk cari makan dengan caranya sendiri-sendiri, sehingga muncul fenomena berupa mafia peradilan, jual beli kasus, jual beli penangguhan penahanan, jual beli SP3, tawar menawar tuntutan, pengacara “hitam”, dan praktek-praktek KKN lain yang masih jalan terus.
Jika penegakan supremasi hukum ingin diwujudkan lembaga penegak hukum harus dilepaskan dari pola dan kultur orde baru yang selama ini telah menjadi mind set aparat penegak hukum. Di samping itu harus dilakukan upaya pembersihan dari oknum yang selama ini menggerogoti wibawa dan citra penegak hukum. Sampai saat ini sistem reward and punishment belum dilaksanakan dengan baik, seharusnya oknum yang jelas terbukti menyalahgunakan jabatan, mengesampingkan hukum dan keadilan, atau melakukan pelanggaran lainnya diberi sanksi yang keras (bila perlu dipecat !) , bukan sekedar dimutasi atau justru dipromosikan. Proses pembersihan institusi hukum harus dimulai dari level atas ke bawah, karena proses pembusukan institusi itu juga dimulai dari atas dan merambat ke bawah.
Harus diingat bahwa peradilan pidana sebagai bagian dari upaya penegakan hukum tidak terbatas pada lembaga pengadilan (hakim). Sistem peradilan pidana merupakan keterpaduan antara sub sistem yang terdiri dari polisi, jaksa , pengadilan dan lembaga pemasyarakatan (Indriyanto Seno Adji, 2000 : 1). Sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) bertujuan untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi. Sistem tersebut memiliki tiga tahap : a) Pra Pengadilan, yaitu mencegah masyarakat menjadi korban; b) Pengadilan, yaitu menyelesaikan kejahatan yang terjadi dengan memberi putusan yang sesuai dengan rasa keadilan; c) Pasca pengadilan, yaitu agar pelaku tidak melakukan kejahatan atau tidak mengulangi kejahatan tersebut.
2.pemberantasan KKN
Reformasi Birokrasi sebagai Syarat Pemberantasan KKN

Dalam kehidupan berbagai negara bangsa di berbagai belahan dunia, birokrasi berkembang merupakan wahana utama dalam hubungan antarbangsa. Di samping melakukan pengelolaan pelayanan, birokrasi juga bertugas menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik, dan berfungsi melakukukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara operasional.
Usaha pemberantasan KKN perlu dilihat dalam konteks reformasi birokrasi, bahkan dalam rangka reformasi sistem administrasi publik secara keseluruhan. Karena kita ketahui bahwa masalah KKN bukan hanya terjadi dan terdapat di lingkungan birokrasi tetapi juga berjangkit pula pada sektor swasta, dunia usaha, dan lembaga-lembaga dalam masyarakat pada umunya. Agenda utama yang perlu ditempuh adalah terwujudnya kepemerintahan yang baik (good governance) yang sasaran pokoknya adalah terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang profesional, berkepastian hukum, transparan, partisipatif, akuntabel, memiliki kredibilitas, bersih dan bebas KKN, serta mengemban misi perjuangan bangsa mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara.
Sehingga diharapkan, sebagai stabilisator dalam bidang hukum, administrasi publik dapat mencegah atau pun memberantas KKN yang sudah mengakar di Negara Indonesia ini melalui reformasi birokrasi.
KKN yang merupakan penyakit kronis Orde Baru, berkembang menjadi neo-KKN orde transisi sekarang ini. Pemberantasan KKN telah menjadi agenda utama gerakan reformasi yang bergulir sejak tahun 1998.
Dalam suatu negara hukum, supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih adalah merupakan salah satu kunci berhasil tidaknya suatu negara melaksanakan tugas pemerintahan umum dan pembangunan di berbagai bidang. Supremasi hukum adalah keberadaan hukm yang yang dibentuk melalui proses yang demokratis dan merupakan landasan berpijak bagi seluruh penyelenggara negara dan masyarakat luas, sehingga pelaksnaan pembangunan secara keseluruhan dapat berjalan sesuai aturan yang telah ditetapkan.
Sedangkan pemerintahan yang bersih adalah pemerintahan yang bebas dari praktik KKN dan perbuatn tercela lainnya. Dengan demikian, supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih yang didukung oleh partisipasi masyarakat dan atau lembaga kemasyarakatan untuk melakukan fungsi kontrol terhadap pelaksanaan pemerintahan umum dan pembangunan merupakan salah satu upaya reformasi birokrasi dalam rangka mewujudkan goog governance.
Sasaran yang diharapakan dari reformasi birokrasi ini adalah sebagai stabilisator dalam bidang hukum terutama dalam pemberantasan KKN, Administrasi Negara dapat mewujudkan good governance. Sehingga, KKN yang telah mendarah daging di birokrasi Indonesia dapat sedikit demi sedikit tersisih. Bahkan dapat hilang sama sekali karena tidak ada lagi birokrasi yang dapat mempermudah kegiatan KKN di negara ini.
Birokrasi di Indonesia saat ini mempunyai keberpihakan yang banyak diarahkan pada kepentingan segelintir orang atau pun kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat, bekerja dengan lamban, tidak akurat, berbelit-belit, tidak efisien, serta memberatkan masyarakat. Birokrasi yang tidak netral telah turut membawa Indonesia pada jurang kekacauan politik, dan birokrasi yang tidak netral elalu tumbuh bersama dengan kekuatan dan kepentingan politik atau golongan tertentu, selalu terjebak dalam godaan KKN, dan akhirnya juga membawa negara kita pada kehancuran ekonomi. Hal semacam itu telah terjadi pada setiap rezim pmerintahan, dengan akibat dan dampak yang serupa berupa kelemahan bangunan kelembagaan hukum, dan kehancuran kehidupan ekonomi, politik, dan sosial.

3.pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya
Pengusutan anak dan kroni Suharto
Oleh karena banyaknya persoalan-persoalan besar dan parah yang dihadapi negara dan rakyat dewasa ini (antara lain : banjir besar dimana-mana, gempa di Sumatera, listrik yang digilir, penderitaan yang menyedihkan bagi korban lumpur panas Lapindo, penyelewengan di Bank Indonesia, tersangkutnya anggota-anggota DPR dalam soal BLBI, diadilinya mantan Kapolri Rusdihardjo karena korupsi dll dll dll), maka persoalan besar mengenai tindakan hukum terhadap Suharto, beserta anak-anaknya dan kroni-kroninya, akhir-akhir ini kurang menjadi pembicaraan dan perhatian banyak orang.
Padahal, dalam konteks situasi dewasa ini, penyelesaian masalah Suharto beserta anak-anak dan para kroninya, adalah masalah yang tetap penting, karena ada hubungannya yang erat dengan banyak soal bangsa dan negara kita. Hal-hal inilah yang diangkat secara baik dalam tulisan wartawan Siprianus Edi Hardum yang dimuat oleh Suara Pembaruan ‘(25 Februari 2008). Mengingat pentingnya tulisan ini untuk diteruskannya gugatan atau desakan masyarakat untuk menuntut keluarga Suharto beserta kroni-kroninya, maka disajikan kembali tulisan ini, bagi mereka yang tidak sempat membacanya di Suara Pembaruan.


4.amandemen konstitusi
Upaya amandemen UUD Negara RI Tahun 1945 jangan hanya memperjuangkan penguatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) saja, tetapi bertujuan mewujudkan kedaulatan rakyat. Hal yang perlu dilakukan adalah mengkaji ulang hasil amandemen ke empat UUD 1945 sehingga perubahan lebih komprehensif guna mewujudkan cita-cita negara yang ingin dicapai.

Hal itu ditegaskan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan, Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Bambang Triantoro, saat Forum Dialog Konstitusi di Press Room DPD, Senayan, Jakarta, kemarin.

Ketua Bidang Humas Dewan Harian Nasional Angkatan 45, Soeprapto berpandangan tidak ada larangan untuk melakukan perubahan UUD Negara RI Tahun 1945. "Tetapi perubahan harus dilandasi dengan pertimbangan pemikiran berdasarkan postulat-postulat serta tidak menghilangkan jatidiri bangsa Indonesia. Perubahan harus bertujuan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi bangsa," ujarnya.

Menurutnya, setiap negara merdeka selalu memiliki konstitusi atau grondwet/Grudgesetz atau udang-undang dasar, sebagai hukum dasar yang mengatur mengenai hak dan kewajiban segala unsur yang terlibat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, melindungi warga negara dari segala tindakan yang merugikan, serta bertujuan menciptakan kesejahteraan dan keadilan.
5.pencabutan dwifungsi TNI/Polri
Apakah Pencabutan Dwi Fungsi TNI/Polri itu ???
Yang harus kita pahami ketika berbicara Dwifungsi TNI/Polri adalah ia tidak hanya sebatas 10% kursi DPRD dan 38 kursi DPR/MPR untuk militer. Ia adalah perwujudan dari sebuah sistem penghisapan, dominasi, hegemoni, dan represi dari militer terhadap rakyat Indonesia. Dwifungsi TNI/Polri sebenarnya membuat sebuah negara di dalam negara, dengan mendirikan struktur Kodam-Korem-Kodim-Koramil-Babinsa. Struktur ini membuat militer dapat mengontrol kegiatan politik rakyat. Sebagai contoh, aksi buruh dipastikan akan diintimidasi dengan aparat kodim terdekat. Aksi petani pastilah akan diteror oleh koramil dan babinsa di wilayah tersebut. Begitu juga dengan kaum miskin kota serta elemen-elemen rakyat lainnya.
Bahkan dalam UU Darurat/UU PKB terlihat jelas sebenarnya peranan dari struktur ini. Struktur ini akan menjalankan fungsi-fungsi negara selama keadaan darurat mulai dari fungsi hukum sampai fungsi administrasi masyarakat. Dan dalam kenyataannya sehari-hari, tanpa harus menyatakan keadaan darurat, militer sudah mengatur segala fungsi-fungsi negara. Struktur birokrasi pemerintahan sampai struktur organisasi masyarakat RT/RW sudah disusupi oleh perwira-perwira militer. Mulai dari Mendagri, Jaksa Agung, Gubernur, Bupati, Lurah, Camat, sampai ketua RT/RW bahkan juga direktur-direktur BUMN. Bahkan masuknya militer ke kekuasaan legislatif (DPRD/DPR/MPR) sebenarnya tidak terlepas dari pola mereka masuk ke struktur birokrasi tadi. Untuk mengontrol rakyat Indonesia. Kontrol inilah yang kemudian menghambat proses demokratisasi. Rakyat menjadi hidup didalam satu nuansa represi dan intimidasi.
Oleh karenanya, dimensi pertama dari pencabutan Dwi Fungsi TNI/Polri adalah pembubaran struktur Kodam-Korem-Kodim-Koramil-Babinsa. Dimensi ini bertujuan untuk membebaskan rakyat dari satu represi dan intimidasi yang kemudian akan memacu partisipasi dan kesadaran demokratik rakyat. Argumentasi yang diberikan oleh militer bahwa strukturt ini dibutuhkan untuk menjaga keamanan teritori jelas lemah karena secara riil pembentukkan struktur ini justru untuk menyempurnakan alat-alat kekuasaan mereka. Apa yang harus dilakukan untuk mengamankan teritori negara adalah pembentukan milisi-milisi bela negara yang berbasis pada pengorganisasian perlawanan massa-rakyat. Apabila TNI tetap bersikukuh pada pendiriannya dengan tetap mempertahankan Dwi Fungsi TNI, maka keniscayaan pendelegitimasian TNI adalah hukum sejarah. Akan tetapi, bila TNI menyerahkan fungsi dan peran sosial politiknya kepada sipil sepenuh-penuhnya, dan berfungsi sebagai alat pertahanan semata, maka pembentukan milisi bela negara adalah jalan yang terbaik
Selain itu, militer juga membuat lembaga-lembaga ekstrayudisial seperti BIA, BAKIN atau BAIS dsb. Lembaga yang berada di luar jangkauan kekuasaan kehakiman dan peradilan. Lembaga tersebut memiliki wewenang yang sangat luar biasa. Ia dapat menangkap seseorang tanpa ada kejelasan hukum. Bahkan tindakan-tindakan lembaga tersebut sering kali berbau kriminal seperti penculikan dan pembunuhan, tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas. Lembaga ini berfungsi melakukan teror dan penginterogasian terhadap orang-orang yang memperjuangkan demokrasi dan hak-hak rakyat. Oleh karenanya, pembubaran lembaga-lembaga ekstrajudisial menjadi dimensi kedua dari pencabutan Dwi Fungsi TNI/Polri. Hal ini penting untuk mengembalikan prinsip trias politika yang tegas dan penegakkan hukum yang konsisten.
Dimensi Ketiga adalah pembersihan militer dari politik. Harus dipahami bahawa TNI/Polri adalah fungsi keamanan (TNI) dan ketertiban (polisi) sehingga ia tidak perlu untuk masuk dalam percaturan politik. Pentingnya Militer dibersihkan dari lapangan politik adalah untuk tetap menjaga netralitas militer agar tidak kemudian berpihak pada kekuatan politik lain selain kekuatan politik rakyat. Posisi militer yang menjadi tiang penyangga pada masa Rejim Orde Baru yang berlumuran darah tampaknya cukup menjadi contoh tentang pentingnya militer keluar dari gelanggang politik.
Dimensi Keeempat adalah penghentian dan penyitaan aset-aset ekonomi militer. Seperti dijelaskan diatas, penguasaan militer atas aset-aset ekonomi (dalam bahasa kasarnya :militer berbisnis) akhirnya mendorong miter untuk masuk dalam kekuasaan karena penguasaan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan. Penyitaan aset-aset ekonomi ini kemudian diserahkan pada negara untuk dikelola. Penyitaan dan penghentian praktek bisnis militer ini tentunya harus dengan prasyarat bahwa ada jaminan kesejahteraan minimum bagi para prajurit (yang kemudian menahan keinginan militer untuk berbisnis) dan anggaran militer yang cukup oleh negara.
Dimensi terakhir adalah Penegakan hukum dan HAM bagi para perwira militer pelanggarnya. Seperti diungkapkan dimuka bahwa demokrasi memiliki aturan-aturan prinsipil dalam pembangunannya yang salah satunya adalah penegakkan Hak Asasi Manusia, maka penegakkan hukum merupakan unsur penting bagi pembangunan demokrasi. Tidak dapat disangkal lagi bahwa militer Indonesia memiliki peran yang cukup besar atas penindasan yang diterima oleh rakyat Indonesia selama puluhan tahun. Pertanggungjawaban secara hukum, politik dan sejarah adalah satu-satunya jalan bagi militer untuk dapat diterima kembali di masyarakat.
Prinsip dari pencabutan Dwi fungsi TNI/Polri adalah menempatkan posisi militer sebagai militer yang profesional dan sekaligus sebagai militer rakyat yang artinya militer yang patuh pada prinsip-prinsip demokarsi kerakyatan.
6.pemberian otonomi daerah seluas- luasnya.
Konsep Otonomi Daerah Yang Dilakukan Oleh Negara Indonesia

Sehari sesudah merdeka, Negara Kesatuan RI pada dasarnya telah menetapkan pilihannya secara formal pada dianutnya asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Hal itu dapat disimpulkan dari bunyi Bab IV, pasal 18 UUD 1945 dan penjelasannya.

Dalam pasal 18 UUD 1945, antara lain dinyatakan bahwa “pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang”. Sementara, dalam penjelasan pasal tersebut antara lain dikemukakan bahwa:
“…oleh karena negara Indonesia itu suatu “eenheidsstaat”, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah yang lebih kecil. Daerah itu bersifat otonom (streck dan locale rechtsgemeenchappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang”.
Dalam amandemen kedua UUD 1945, ketentuan tersebut mengalami perubahan. Perubahan tersebut tidak merubah esensinya, tapi lebih bersifat mempertegas, memperjelas dan melengkapi. Disebutkan, misalnya, “Negara Kesatuan RI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah” (pasal 18 ayat 1). Pemerintah daerah tersebut mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (pasal 18 ayat 2). Selanjutnya, dikatakan bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (pasal 18 ayat 5 UUD 1945).
Secara etimologi, perkataan otonomi berasal dari bahasa latin “autos” yang berarti sendiri dan “nomos”aturan. Dengan demikian, mula-mula otonomi berarti mempunyai “peraturan sendiri” atau mempunyai hak/kekuasaan/kewenangan untuk membuat peraturan sendiri. Kemudian arti ini berkembang menjadi “pemerintahan sendiri”. Pemerintahan sendiri ini meliputi pengaturan atau perundang-undangan sendiri, pelaksanaan sendiri, dan dalam batas-batas tertentu juga pengadilan dan kepolisian sendiri (Josep Riwu Kaho,1991:14). Sementara itu, dalam UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintah Daerah ditegaskan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. yang berarti
Urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat yang diatur dan diurus tersebut meliputi kewenangan-kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah-daerah untuk diselenggarakan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Josef Riwu Kaho (1991:15-17) menyebutkan berbagai teknik untuk menetapkan bidang mana yang menjadi urusan pemerintah pusat dan mana yang merupakan wewenang pemerintah daerah, yaitu (a) sistem residu, (b) sistem material, (c) sistem formal, (d) sistem otonomi riil, dan (e) prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab.

Dalam sistem residu, secara umum telah ditentukan lebih dahulu tugas-tugas yang menjadi wewenang pemerintah pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah tangga daerah. Kebaikannya terutama terletak pada saat timbulnya keperluan-keperluan baru, pemerintah daerah dapat dengan cepat mengambil keputusan dan tindakan yang dipandang perlu, tanpa menunggu perintah dari pusat. Sebaliknya, sistem ini dapat pula menimbulkan kesulitan mengingat kemampuan daerah yang satu dengan yang lainnya tidak sama dalam pelbagai lapangan atau bidang. Akibatnya, bidang atau tugas yang dirumuskan secara umum ini dapat menjadi terlalu sempit bagi daerah yang kemampuannya terbatas.

Sementara, dalam sistem material, tugas pemerintah daerah ditetapkan satu persatu secara limitatif atau terinci. Di luar tugas yang telah ditentukan, merupakan urusan pemerintah pusat. Kelemahannya, sistem ini kurang fleksibel karena setiap perubahan tugas dan wewenang daerah harus dilakukannya melalui prosedur yang lama dan berbelit-belit. Akibatnya, memghambat kemajuan daerah, karena mereka harus menunggu penyerahan yang nyata bagi setiap urusan. Kadang-kadang suatu urusan menjadi terbengkelai, tidak diurus oleh pemerintah pusat dan tidak pula oleh pemerintah daerah. Sedangkan dalam sistem formal, daerah boleh mengatur dan mengurus segala sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya, asal saja tidak mencakup urusan yang telah diatur dan diurus oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Dengan kata lain, urusan rumah tangga daerah dibatasi oleh peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

Dalam sistem otonomi riil, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang riil dari daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi. Karena pemberian tugas dan kewajiban serta wewenang ini didasarkan pada keadaan riil di dalam masyarakat, maka kemungkinan yang dapat ditimbulkannya ialah bahwa tugas atau urusan yang selama ini menjadi wewenang pemerintah pusat dapat diserahkan kepada pemerintah daerah dengan melihat kepada kemampuan dan keperluannya untuk diatur dan diurus sendiri. Sebaliknya, tugas yang kini menjadi wewenang daerah, pada suatu ketika, bilamana dipandang perlu dapat diserahkan kembali kepada pemerintah pusat atau ditarik kembali dari daerah .
Prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab dikenal dalam UU No.5 tahun 1974 sebagai salah satu variasi dari sistem otonomi riil. Dalam UU tentang Pemerintah Daerah yang baru, yaitu UU No. 22 tahun 1999, otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan mencakup semua bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi.

Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sementara itu, dalam penjelasan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab. Yang dimaksud prinsip otonomi seluas-luasnya adalah bahwa daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah Pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sedangkan prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

Seiring dengan prinsip itu, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antara daerah. Hal yang penting juga adalah bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.
Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, Pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Di samping itu diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan dan evaluasi. Bersamaan dengan itu, Pemerintah wajib memberikan fasilitasi berupa pemberian peluang, kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kesalahan Penetapan Agenda
Apabila kita akan menilai suatu pencapaian atau suatu kinerja setidak – tidaknya ada tiga hal yang harus kita perhatikan yaitu :
1. perlu adanya fakta yang akan dievaluasi,
2. Suatu penilaian atau evaluasi, mau tak mau, mengharuskan adanya pegangan normatif tertentu, dapat diketahui sejauh mana perkembangan empiris yang terjadi, semakin mendekati atau malah menjauh dari kriteria-kriteria normatifnya,
3. hubungan di antara ketentuan normatif dan fakta yang terjadi dalam kenyataannya.
Dalam hal ini kita perlu memiliki satu pegangan atau titik referensi terlebih dahulu yang akan dijadikan sebagai alat bedah untuk mengevaluasi kinerja yang ada saat ini. Oleh karena itu dalam hal kacamata para reformis tentulah merupakan suatu hal yang wajar apabila mereka mengatakan reformasi sedang berada di jalur yang tepat untuk menuju kesuksesan. Sebab, satu – satunya goal ataupun misi yang mereka emban hanyalah enam agenda reformasi tersebut. Sedangkan masalah – masalah seperti pendidikan murah, penyediaan lapangan kerja dll tidak menjadi konsern utama reformasi. Maka para reformis akan mengatakan bahwa tingkat keberhasilan reformasi adalah 50% mengingat 3 agenda dari 6 agenda telah dilaksanakan. Meskipun secara umum tiga agenda yang dilaksanakan itu juga bermasalah seperti misalnya otonomi daerah yang merupakan pengalihan kekuasaan atau sentralisasi kekuasaan dari pusat ke daerah. Dari perspektif demokrasi, pasti ada yang positif dari reformasi yang sudah terjadi. Satu tahun pascareformasi (1999) Indonesia disebut negara demokrasi ketiga terbesar di dunia (John Harriss, Kristian Stokke, Olle Törnquist, 2005).
Dalam hal ini kita harus memakai kacamata yang lain mengingat kacamata para reformis bisa dikatakan buram sebab tidak melihat atau berpura – pura tidak melihat permasalahan rakyat yang sedemikian banyaknya. Salah satu pegangan atau titik referensi yang ditawarkan oleh Gema Pembebasan adalah Islam Ideologis. Kami memandang bahwa reformasi telah gagal semenjak kemunculannya. Sebab poin yang diagendakan dalam reformasi tersebut bukanlah poin yang mengakar bagi permasalahan rakyat saat ini. Kami menolak keadaan yang terjadi pada masa orde lama, orde baru, ataupun juga masa reformasi saat ini. Sebab apa yang menjadi gambaran kami adalah penyelesaian dari semua permasalahan yang sedang dihadapi oleh rakyat sekarang ini.
Islam menghendaki bahwa pengelolaan SDM itu harus di kelola oleh Negara dan tidak boleh sedikitpun dikelola oleh swasta apatah lagi swasta asing. Begitupun juga Islam menghendaki bahwa pendidikan itu harus didasarkan kepada akidah Islam serta disediakan secara gratis bagi seluruh warga Negara. Begitupun juga Islam memandang bahwa berutang keluar negeri yang dapat mengakibatkan ketergantungan kita kepada luar negeri adalah suatu hal yang haram dilakukan. Ataupun juga pemberantasan korupsi yang wajib dilakukan meskipun pelakunya adalah keluarga pejabat, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab yang menindak sendiri anaknya. Juga pengurusan Negara atas para fakir miskin yang tidak mampu untuk membiayai kehidupannya. Serta wajibnya Negara menyediakan lapangan kerja dan pengurusan – pengurusan kemaslahatan rakyat lainnya.
Oleh karena itu kami memandang bahwa reformasi telah gagal karena tidak membawa satu bentuk pun perubahan yang diharapkan. Reformasi hanyalah suatu bentuk perpindahan dari kandang macan ke kandang harimau. Kedua – duanya sama ganasnya dan sama pemakan dagingnya. Salah satu kesalahan fundamental dari gerakan reformasi ini adalah tidak digantinya sistem sekaligus orang – orang yang memegang pemerintahan seluruhnya. Pada masa itu yang terjadi adalah sebuah gerakan massa besar – besaran yang bertujuan untuk menggulingkan penguasa yang sah saat itu yaitu Soeharto. Terkumpulnya massa dalam jumlah besar itu hanyalah sekedar massa yang banyak saja. Keinginan mereka hanyalah turunnya Soeharto dan berharap akan terjadi suatu perubahan yang lebih baik. Massa yang sangat banyak tersebut cenderung hanya berkumpul semata tanpa adanya gagasan ataupun konsep perubahan yang jelas. Mereka hanyalah sekedar menginginkan perubahan tanpa tahu perubahan seperti apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dilakukan untuk melakukan perubahan tersebut.


Kesimpulan dari saya :
Kini Sembilan tahun sudah reformasi digulirkan, dan enam agenda tersebut hanyalah tinggal agenda saja. Keadaan rakyat tidak jauh berbeda dengan keadaan sebelum reformasi bahkan jauh lebih buruk lagi. Angka kemiskinan yang semakin besar, dengan standar World Bank akan ditemui separuh atau 110 juta penduduk Indonesia adalah orang miskin. Sumber Daya Alam kita yang diberikan begitu saja kepada pihak asing seperti halnya blok Cepu, Natuna, Freeport dll. Kapitalisasi perguruan tinggi dengan bentuk BHMN yang akan membuat biaya kuliah semakin meroket. Busung lapar yang masih juga banyak terjadi di daerah – daerah. Angka pengangguran yang menembus angka lebih dari 10 juta orang. Utang luar negeri yang tidak kunjung lunas. Pemberantasan korupsi yang sampai saat ini juga masih merupakan sekadar janji manis saja. Impor beras yang dilakukan pemerintah beberapa waktu yang lalu serta berbagai permasalahan yang sangat banyak. Di samping itu juga berdasarkan data tahun 2006, tingkat pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah masih berada pada level yang sama dengan Zimbabwe, Togo, Burundi, dan Ethiopia(sumber informasi dari internet).

Itulah sekian banyak permasalahan yang sebelum reformasi ataupun setelah reformasi tidak juga terselesaikan dengan baik. Bahkan cenderung berjalan di tempat kalau tidak berjalan mundur. Meski demikian para pelaku reformasi 1998 mengatakan bahwa reformasi sedang berjalan menuju ke arah yang lebih baik. Beberapa agenda reformasi telah berhasil dijalankan misalnya saja amandemen konstitusi, pencabutan dwifungsi TNI/POLRI ataupun juga pemberian otonomi daerah seluas – luasnya. Meskipun kata mereka beberapa agenda seperti pengadilan mantan Presiden Soeharto, pemberantasan KKN serta penegakan supremasi hukum masih berjalan di tempat. Tetapi secara umum mereka menilai bahwa reformasi tidak gagal tetapi sedang menuju kepada perbaikan yang lebih baik. Pertanyaannya sekarang adalah, lalu dikemanakan berbagai permasalahan yang sangat banyak yang telah disebutkan di atas tadi? Yang terjadi ini kesalahan dalam menetapkan agenda ataukah kesalahan dalam mengidentifikasi permasalahan sehingga tidak ada satupun penyelesaian masalah rakyat yang dicapai?

Referensi : kavie-design.blogspot.com/2010/11/6-agenda-reformasi.html
Baca selengkapnya

Wednesday, September 26, 2012

Joystick


JOYSTICK
PENGANTAR
Tuas kontrol atau Tuas Kendali(bahasa Inggris: joystick) adalah alat input komputeryang berwujud tuasyang dapat bergerak ke segala arah. Alat ini dapat mentransmisikan arah sebesar dua atau tiga dimensi ke komputer. Alat ini umumnya digunakan sebagai pelengkap untuk memainkan permainan video yang dilengkapi lebih dari satu tombol.
Tuas kendali telah menjadi alat kontrol utama pada kokpitpesawat terbang, termasuk pesawat jet dan pesawat militer, baik sebagai tuas utama ataupun tuas di sisi-sisinya. Tuas kendali juga digunakan untuk mengontrol mesin seperti mesin derek, truk, kursi roda, kamerapengawas dan mesin pemotong rumput. Miniatur dari tuas kendali finger-operated telah diadopsi sebagai alat input untuk peralatan elektronikkecil seperti telepon seluler (ponsel).

SEJARAH AWAL
Joystick pertama kali diperkirakan berasal pilot Perancisdi awal abad ke-20 oleh Robert Esnault-Pelterie[3]. Nama ini juga diakui oleh beberapa pilot lain seperti Robert Loraine, Henry James Joyce dan George AE. Loraine memasukkan nama “joystick” dalam buku hariannya pada tahun 1909 ketika ia pergi ke Pau untuk belajar terbang di sekolah Blériot's. Sementara George AE adalah seorang penerbang perintis yang bersama temannya Jobling membangun dan menerbangkan pesawat di Newcastle, Inggris pada tahun 1910. Dia diduga telah menemukan "George Stick" yang lebih dikenal sebagai joystick atau tuas kendali.

PERKEMBANGAN JOYSTICK DIBIDANG ELEKTRONIK (GAMES)
Joystcik games pertama kali ditemukan oleh Ralph H. Baer, penemu televisidan video games Magnavox Odyssey konsol, yang dirilis pada tahun 1972, menciptakan permainan video pertama yang menggunakan tuas kendali pada tahun 1967. Mereka mampu mengontrol posisi horizontal dan vertikal dari tempat yang ditampilkan pada layar. Tuas kendali permaian elektronik pertama yang tersedia secara komersial dirilis oleh Sega sebagai bagian dari permainan rudal atap mereka pada tahun 1969, sebuah simulasi permainan tembakan yang menggunakan tuas kendali dua arah dengan satu tombol "api" untuk menargetkan dan menembak pesawat yang mendekat yang ditampilkan pada layar proyeksi.

Fungsi dan Kegunaan Joystick
Joystick pada umumnya digunakan sebagai pelengkap untuk memainkan permainan video yang dilengkapi lebih dari satu tombol. Selain untuk mengontrol permainan video, tuas kontrol juga banyak diimplementasikan pada mesin lain, seperti pada kursi roda bermotor dan truk.

Macam-macam Joystick
Joystick Games
 

 Jenis joystick di atas adalah jenis joystick yang paling sering digunakan para Gamers dikarenakan joystick tersebut dapat digunakan untuk game apa saja.
 Joystick khusus game pesawat
 Joystick khusus Shooting game
Joystick tersebut berfungsi khusus untuk game balap mobil.

Joystick pada Peranti Lain
 Joystick pada sebagian Handphone

Joystick(Tuas) pada Pesawat Terbang

Referensi : id.wikipedia
                 kaskus
SEKIAN TERIMA KASIH, WASSALAM 

Makasih Gan udah mampir ke Blog  ane


Di-Share aje Gan, kalo perlu kasih sedikit Cendol(Koment) nya  

Baca selengkapnya

Sunday, September 16, 2012

ALGORITMA PEMROGRAMAN 1 (BASIC)
bagian I

SEJARAH BASIC

BASIC merupakan singkatan dari Beginners All Purpose Symbolic Instruction Code dan merupakan bahasa tingkat tinggi (high level language) yang bersifat interpreter. Bahasa BASIC diciptakan oleh John G. Kemeny dan Thomas E. Kurtz dari Darmouth Collage, USA. Bahasa ini memang dikenal sangat mudah dimengerti dan dipahami .
BASIC memiliki banyak versi yang beredar di pasaran di antaranya TURBO-BASIC, BASICA, CBASIC, GBASIC, MBASIC, QUICK BASIC, GW-BASIC, dan sebagainya. Namun yang paling populer adalah BASICA dan TURBO-BASIC yang berjalan pada sistem operasi
MS-DOS atau Microsoft Windows.

Struktur Bagian BASIC

Struktur program BASIC diawali dengan bagian pendeklarasian variabel, kemudian bagian tubuh program tempat meletakkan statement atau instruksi-intruksi untuk sebuah program dan diakhiri oleh statement END. Jika dibuat bagan terlihat sebagai berikut :

 


Baca selengkapnya